Padang, Kabarkita.net – Tak bisa dipungkiri, arus global, digital dan teknologi yang terus berkembang pesat, perlahan merubah karakter dan mindset anak muda Minangkabau hari ini. Identitas keminangan yang seharusnya menjadi sebuah kebanggaan mulai terkikis.
Zaman memang selalu berubah, apalagi teknologi. Uda/uni yang harusnya kental akan nilai-nilai tradisi, malah terlena akan modernisasi. Jiwa-jiwa Minang yang berlandaskan filosofi untuk berpikir, berbuat dan bertindak pun mulai redam.
Fris Okta Falma, musisi Minang asal Kota Padang Panjang, Sumatera Barat sadar betul akan perubahan cara pandang generasi muda minang hari ini. Mereka yang tumbuh di era tahun 90-an dan 2000-an berada di lingkungan dan zaman yang jauh berbeda. Watak, karakter dan social mereka pun jadi berbeda.
Sebagai orang yang lama terjun dalam dunia musik, Dosen UNP ini pun memutar otak. Bagaimana musik bisa menyampaikan makna dan pesan Minangkabau ke sanubari anak muda dengan luas. Membangun identitas diri yang bisa dibanggakan. Apakah pesan itu berupa budaya, seni, dan filsafah Minang. Semuanya harus bisa disampaikan melalui musik.
Kolaborasi musik dan instrument Minang dengan modern, mampu menjawab pertanyaan ini.
Laporan : Hajrafiv Satya Nugraha (Wartawan Kabarkita.net)
Di ruangan berukuran 5×6 meter yang terletak di samping rumahnya di Jalan Termindung, Kelurahan Air Tawar Timur, Kecamatan Padang Utara, Kota Padang, Fris membangun studio musik tradisional Minangkabau.
Walaupun studio ini memiliki ciri khas Minang yang kental, alat musik modern juga ada disini.
Alunan Talempong, Saluang, Rabab, Gandang, Pupuik Tanduk, Bansi dan alat music Minang lainnya dikolaborasikan dengan Gitar, bass, drum, keyboard, biola dan alat music modern lainnya. Tak ketinggalan juga sound system dan komputer spek tinggi, media yang memadukan musik tradisi dan modern.
“Ya, inilah cara saya untuk membangkitkan ruh Minangkabau di dunia musik. Saya ingin music Minangkabau tidak hanya dinikmati saja, tetapi juga dihayati dan dimaknai. Orang seluruh dunia harus tahu, bahwa Minangkabau adalah tradisi dan budaya yang menyiratkan banyak pesan positif. Mampu membangun karakter dan sosial manusia secara elok. Itulah kenapa saya kolaborasikan musik tradisi (Minangkabau-red) dengan music Pop, Rock, EDM, Hip-Hop, Punk, hingga instrument klasik,” kata Fris.
Setiap karya yang tercipta di tangan Fris, nilai-nilai dan filosofi Minang harus diselipkan. Agar tercipta media pembelajaran yang unik bagi mereka yang mendengarkan. Tujuannya jelas, “Musik Minang tak hanya untuk dinikmati, tetapi juga dihayati”.
Inisiatif ini muncul karena kegagalan. Kerap kali Fris dan kawan-kawan masa kuliah di Institut Seni Indonesia (ISI) Padang Panjang menggelar panggung seni tradisi, malah gigit jari. Panggung sepi, penonton bisa dihitung dengan jari. Fris bak bermain sendiri saat memainkan alat musik Minang. Tanpa ada yang hadir melihat, mensupport, atau pun memuji.
Kecewa? Tidak. Ilmu seni dan bakat musisi itu tidak dibangun dalam sehari atau dua hari. Tetapi belasan tahun. Jika menyerah, semua buyar dan sia-sia. Bak pecundang yang kehilangan nyali.
Pria kelahiran 4 Oktober 1989 ini tetap berjalan. Sembari berpikir, ia tetap aktif menggelar panggung pinggiran jalan. Masa bodoh dengan cemoohan orang. Kalau pun tak ada kawan, tetap gelar panggung pinggir jalan, sendirian. Yang jelas alat-alat tradisional Minangkabau harus tetap ditabuh di tanah sendiri. Fris memang gigih. Karena kegigihannya ini, namanya mulai dikenal oleh para musisi di Kota Padang.
D’Plust, salah satu band Rock Kota Padang tertarik dengan keahlian yang dimiliki Fris. Begitu fasih memainkan seluruh alat music tradisi Minangkabau. Keahlian yang langka bisa dimiliki oleh satu orang.
Sosok Fris yang dicari oleh d’Plust dan memintanya untuk bergabung. Gayung disambut, Fris mau menerima ajakan ini asalkan ada kolaborasi musik modern dengan Minang. D’Plust setuju. Dari sinilah mulai tercipta karya-karya yang membuka mata anak muda Minang akan musik minang tradisi yang selaras dengan musik modern.
Lagu-lagu d’Plust booming. Lagu Ratok Pasaman, Mudiak Arau, Kampuang Nan Jauah Di Mato kembali tenar ditelinga anak-anak muda dengan versi berbeda. Lagu minang yang disajikan dengan aliran Pop dan Slow Rock.
Welcome To Minangkabau
Lagu d’Plust benar-benar diterima oleh segala kalangan usia. Sampai-sampai menjadi band undangan rutin Pemerintah Provinsi Sumatera Barat jika ada gelaran konser resmi. Tampil di dalam maupun luar negeri.
D’plust sangat berjaya dengan banyak tawaran manggung sana-sini. Setiap hari manggung dan manggung. Menghibur banyak orang. Pundi-pundi rupiah tak terhitung lagi mengalir ke kantong celana.
Fris memang berjaya dengan d’Plust. Namun ketenaran dan uang bukan tujuan ia bermusik. D’plust memang awal mula formula keberhasilan kolaborasi music tradisi dengan musik modern. Tapi musik d’Plust hanya dinikmati, kurang memberikan pesan Minangkabau yang bisa dihayati.
Dengan berat hati, Fris memutuskan keluar dari d’Plust. Ingin kembali ke niat awal, yakni dengan musik, bisa menyampaikan pesan dan makna falsafah Minangkabau. Musik yang dilahirkan, nilai-nilai Minang harus benar-benar terserap di hati para pendengar.
Pria kelahiran 4 Oktober 1989 ini mulai menciptakan musik-musik instrument Minangkabau ala Eropa. Saat orang-orang luar datang ke Sumatera Barat, benar-benar merasakan “Welcome to Minangkabau” dengan musik.
Membangun jembatan antara generasi muda dengan akar budaya mereka sendiri bukanlah sesuatu yang mudah. Format pesan Minang dirubah dalam musik, seperti Birrul Walidain (Hormat kepada orang tua), Badunsanak, kehormatan adat (Sako dan Pusako) ditata rapi sedemikian rupa, agar enak didengar dan sampai ke hati.
Usahanya membuahkan hasil. Walaupun dalam kesendirian, bisa melahirkan dua album instrument klasik Minang, yakni Manaruko dan Manapak (Welcome To Minangkabau).
Sekali lagi Fris berhasil menciptakan inovasi, bagaimana musik Minang disajikan secara berbeda dan diterima oleh anak muda. Musik-musik dua album ini laris dan banyak dipakai oleh netizen sebagai latar musik status maupun reels media social mereka.
Menjaga Warisan Lewat Bunyi
Dalam dunia yang terus berubah dan bergerak cepat, seringkali suara-suara lama tergilas oleh kebisingan zaman. Sosok Fris Okta Falma, mengingatkan kita alunan musik tradisi tak pernah benar-benar mati, selama masih ada yang mau menjaga.
Lewat tangan kreatif Fris, musik Minangkabau tidak hanya bertahan, tapi juga berkembang. Ia bukan hanya seorang musisi. Ia adalah penjaga warisan budaya dalam bentuk nada, yang menolak tunduk pada arus lupa. Ia menciptakan bukan sekadar lagu, tapi jembatan antara masa lalu dan masa depan.
Dan di tengah hiruk pikuk dunia musik digital, karya-karyanya tetap berdiri tegak seperti tabuh gandang yang tak pernah henti berbunyi di tengah panggung kehidupan. (*)