Timnas Indonesia ucapkan selamat tinggal kepada Piala Dunia 2026. Perjuangan Timnas Sepakbola Indonesia menuju Piala Dunia 2026 resmi berakhir. Kekalahan melawan Irak menjadi titik darah terakhir untuk masuk ke dalam puncak turnamen sepakbola dunia.
Kekalahan melawan Timnas Irak ini juga membuktikan bahwa tidak mudah untuk “sekedar” menjadi peserta di pentas Piala Dunia, apalagi menjadi juara. Pertanyaannya ? Akankah ada pembelajaran yang diambil ?
Sudah menjadi ciri khas Indonesia untuk selalu menginginkan hal yang instan, melakukan “adendum” di tengah jalan tanpa alasan yang cukup kuat, larut dengan euphoria berlebih. Padahal untuk mencapai sesuatu yang besar, tidak pernah dikenal ada rumus instan.
Untuk lolos ke Piala Dunia, federasi mengedepankan Timnas, padahal hal paling fundamental untuk menciptakan Timnas yang kuat adalah tersedianya kompetisi yang baik dan kompetitif di semua tingkatan usia. Bukan sekedar memilih 23 pemain yang akan membawa lambang garuda di dada.
Ajang seperti Piala Dunia bukan kompetisi yang bisa dimenangkan seperti memenangkan kompetisi politik di dalam negeri, yang suaranya bisa diperjualbelikan. Lolos ke Piala Dunia membutuhkan kesiapan maksimal, apalagi untuk memenangkannya.
Federasi tidak pernah mau percaya dengan sebuah proses. Padahal dalam sepakbola, proses adalah hal yang niscaya. Berbeda dengan F1, punya anggaran cukup untuk buat mobil bagus, bayar teknisi terbaik, hampir dipastikan juara, walaupun dengan pembalap secukupnya.
Shin Tae Yong (STY) memperlihatkan progres yang luar biasa, di tengah kompetisi yang “seadanya”. Secara ranking FIFA dan permainan di lapangan, Timnas menunjukan peningkatan signifikan. Cukup untuk lolos ke Piala Dunia ? Belum. Tapi progressnya terlihat menuju arah sana.
Menariknya, di tengah jalan Pelatih Korea Selatan ini dipecat. Dengan berbagai alasan yang bagi sebagian publik terkesan dibuat-buat. Suasana ruang ganti tidak harmonis, STY hanya bisa bahasa korea, permainan tidak cantik dan lain sebagainya. Padahal sepakbola bukanlah kontes kecantikan, cukup cetak 1 gol lebih banyak dari tim lawan.
Penggantinya ? Patrick Kluivert. Petir di siang bolong. Sebagai pemain, tidak ada yang meragukan ketajamannya sebagai predator kotak penalti. Sebagai pelatih, rekam jejaknya, sangat buruk. Sesederhana itu. Dan federasi baru saja mengganti pelatih dengan rekam jejak internasional yang mentereng seperti STY dengan Kluivert yang rekam jejak kepelatihannya zonk.
Seringkali kita terlalu menyederhanakan ketertinggalan kualitas persepakbolaan kita. Ketika baru datang STY harus mengatur mulai dari asupan nutrisi pemain, hingga cara mengoper bola yang baik dan benar. Sebuah pekerjaan yang seharusnya dilakukan oleh seorang pelatih SSB, namun justru dilakukan oleh pelatih Timnas. Dan kita berharap lolos ke Piala Dunia.
Belajarlah menghargai sebuah proses. Namun pastikan proses itu di jalan yang benar. Dalam sebuah proses pro dan kontra hal biasa, namun selama memberikan progres yang positif, maka biarkan proses itu berjalan. Karena sepakbola bukan reality show yang penuh drama.
Sepakbola simpel, tinggal melihat papan skor pertandingan. Menang atau kalah ? Itu indikator terpenting. Tidak peduli pelatihnya hanya bisa bahasa isyarat, permainannya seperti Tarkam, atau pun ruang ganti seperti kapal pecah.
Belanda punya permainan tercantik sepanjang sejarah, toh mereka tidak pernah juara Piala Dunia. Italia punya gaya permainan paling buruk bahkan membosankan. Sorry to say mereka juara Piala Dunia 4 kali. Ya, 4 kali !!! Hanya Jerman yang menyamai, dan hanya Brazil yang mengungguli.
“Selamat datang era kepelatihan terbaik ?” Seseorang lupa jika sejarah tidak ditulis di awal.