Tragedi Gempa 20 Juni 1867 : Jawa Terguncang Dalam Trauma Ribuan Nyawa

Kabarkita.net – Pada pagi hari yang tenang di tanggal 20 Juni 1867, kehidupan di Pulau Jawa tiba-tiba terguncang oleh salah satu gempa terkuat yang pernah tercatat di wilayah ini. Peristiwa ini bukan hanya menjadi bencana besar pada zamannya, tetapi juga meninggalkan jejak panjang dalam sejarah geologi dan sosial masyarakat Jawa.

Di masa itu, teknologi pencatatan gempa modern belum berkembang, namun dokumentasi kolonial Belanda, catatan surat kabar, serta laporan para ilmuwan Eropa yang berada di Hindia Belanda menjadi sumber penting untuk memahami kedahsyatan tragedi tersebut.

Gempa besar ini bersumber dari zona patahan intrakontinental di selatan Jawa Tengah dan DIY, tepatnya dari wilayah yang kini diperkirakan berada di dekat Gunungapi Merapi dan zona sesar Opak. Penelitian modern menyebutkan gempa ini memiliki magnitudo sekitar 7,8 dengan kedalaman dangkal, sehingga efeknya sangat terasa di permukaan.

Berbeda dengan gempa-gempa tektonik yang bersumber langsung dari subduksi lempeng Indo-Australia ke bawah Eurasia di dasar laut, gempa 1867 adalah gempa darat yang dipicu oleh pelepasan energi di patahan aktif yang berada di bawah daratan Jawa.

Getarannya menyebar cepat ke berbagai penjuru pulau karena struktur geologi Pulau Jawa yang padat dan batuannya yang keras mampu menghantarkan gelombang seismik dengan efisiensi tinggi.

Banyak ilmuwan geologi modern meyakini bahwa patahan Opak adalah kandidat utama sumber gempa ini, meskipun ada juga yang berpendapat pusat gempa kemungkinan berada lebih ke barat daya, dekat zona transisi antara kerak benua dan kerak samudera di selatan Yogyakarta.

Berdasarkan catatan Java Bode, sebuah surat kabar berbahasa Belanda yang terbit di Batavia, gempa terjadi pada pukul 05.20 pagi waktu setempat. Getaran awal berlangsung beberapa detik, diikuti guncangan utama yang keras selama lebih dari satu menit — waktu yang cukup panjang untuk membuat orang kehilangan keseimbangan dan bangunan runtuh.

Warga di Yogyakarta, Surakarta, hingga Semarang melaporkan suara gemuruh seperti ledakan besar sebelum guncangan terjadi. Di pedesaan, banyak orang melihat tanah bergelombang seperti ombak. Saksi mata di daerah pesisir selatan melaporkan fenomena “air surut mendadak”, meski peristiwa ini tidak diikuti tsunami besar. Fenomena tersebut kemungkinan adalah efek gelombang seismik yang memengaruhi muka air laut.

Gubernur Jenderal Hindia Belanda saat itu, Ludolph Anne Jan Wilt Baron Sloet van de Beele, segera mengirim pasukan dan insinyur ke wilayah terdampak. Bantuan darurat difokuskan pada pembersihan puing, perbaikan jalur transportasi, dan pembangunan rumah sementara bagi korban.

Pemerintah kolonial juga mulai mengkaji peta seismik Jawa, meskipun pemahaman tentang gempa bumi masih sangat terbatas. Baru pada awal abad ke-20, pengetahuan tentang hubungan gempa dengan sesar aktif di Jawa mulai berkembang.

Yogyakarta menjadi kota dengan kerusakan paling parah. Hampir semua bangunan Benteng Kraton Yogyakarta mengalami retak besar, beberapa bagian roboh. Candi Prambanan yang saat itu sudah lama ditinggalkan sejak masa keruntuhan Mataram Hindu, mengalami keruntuhan parah pada struktur candi-candi utamanya.

Rumah-rumah penduduk yang umumnya terbuat dari bata merah tanpa perkuatan besi hancur rata dengan tanah. Laporan kolonial menyebut lebih dari 5.000 rumah di wilayah ini rusak berat atau runtuh total.

Selain Candi Prambanan, beberapa candi lain di Jawa Tengah ikut terdampak. Candi Sewu, Plaosan, dan Kalasan mengalami keruntuhan sebagian struktur. Banyak batu berukir jatuh berserakan, yang kemudian mendorong upaya restorasi oleh arkeolog Belanda puluhan tahun kemudian.

Kerusakan pada candi-candi besar seperti Prambanan dan Sewu menjadi pukulan besar bagi peninggalan sejarah Jawa. Banyak bagian candi yang roboh sepenuhnya, dan batu-batu berserakan tanpa susunan. Ironisnya, gempa 1867 justru menjadi titik awal kesadaran pemerintah kolonial untuk memulai program konservasi candi secara sistematis. Sejumlah insinyur Belanda melakukan survei dan dokumentasi terhadap reruntuhan, yang kelak menjadi referensi restorasi abad ke-20.

Ribuan Korban dan Trauma Kolektif

Catatan resmi kolonial tidak mencatat angka pasti korban jiwa, namun diperkirakan lebih dari 650 orang tewas dan ribuan lainnya luka-luka. Mayoritas korban berasal dari desa-desa yang rumahnya runtuh. Banyak korban tertimpa material bangunan yang berat, karena pada masa itu batu bata dan genteng tanah liat digunakan tanpa rangka kayu yang fleksibel.

Bencana ini juga menimbulkan trauma massal. Banyak warga mengungsi ke lapangan terbuka selama berminggu-minggu, takut akan gempa susulan. Aktivitas perdagangan terhenti, pasar-pasar ditutup, dan pengiriman barang dari pelabuhan ke pedalaman terganggu karena jalur transportasi rusak.

Berdasarkan kajian ulang para ahli pada abad ke-21, gempa 20 Juni 1867 diyakini memiliki karakteristik sebagai gempa tektonik darat besar (intraplate earthquake) yang sangat dangkal. Skala intensitas guncangan di Yogyakarta mencapai IX MMI (Modified Mercalli Intensity) — cukup untuk menghancurkan bangunan dari batu bata dan merusak struktur batu besar.

Sejumlah penelitian juga mengaitkan gempa ini dengan aktivitas tektonik yang berhubungan dengan Gunung Merapi. Meski tidak memicu letusan besar saat itu, catatan vulkanologi menunjukkan bahwa pada tahun-tahun berikutnya, aktivitas Merapi meningkat.

Hingga kini, gempa 20 Juni 1867 dikenang sebagai salah satu gempa paling merusak di Pulau Jawa sebelum abad ke-20. Peristiwa ini menjadi pengingat bahwa wilayah Jawa, meski subur dan padat penduduk, berada di atas jalur patahan aktif yang sewaktu-waktu bisa memicu bencana besar.

Peninggalan kerusakan fisik masih bisa dilihat pada dokumentasi foto dan sketsa kolonial yang disimpan di arsip Belanda. Beberapa batu candi yang roboh saat gempa tersebut baru dikembalikan ke posisinya dalam restorasi pada abad ke-20.

Gempa Jawa 20 Juni 1867 adalah tragedi yang memadukan unsur geologi, sosial, ekonomi, dan budaya dalam satu peristiwa besar. Sumbernya yang berasal dari sesar darat aktif membuat guncangan terasa luar biasa kuat. Dampaknya yang luas menghancurkan pusat-pusat permukiman, melumpuhkan ekonomi, dan merusak peninggalan bersejarah. Meski terjadi lebih dari 150 tahun lalu, kisahnya tetap relevan hari ini — terutama sebagai peringatan bagi masyarakat Jawa bahwa tanah yang mereka pijak menyimpan potensi bencana yang tidak boleh diremehkan. (*)