“Kenapa KTP Masih Jadi Syarat di Semua Layanan Indonesia?”

Kenapa KTP Masih Harus di Fotocopy? Membongkar Absurditas Administratif di Negeri yang Katanya 4.0

“Kenapa KTP Masih Jadi Syarat di Semua Layanan Indonesia?”

Kabarkita.net Di negara ini, KTP bukan cuma kartu identitas. Dia seperti kunci utama masuk ke segala sistem—mulai dari daftar kartu perdana, buka rekening, akses bansos, sampai beli gas melon pun kadang ditanyain fotocopy KTP.

Tapi sampai kapan kita bergantung pada selembar kartu plastik ini? Dan kenapa, di tengah era “semua digital,” kita masih dipaksa fotokopi KTP bolak-balik?

KTP: Primadona yang Terlalu Diandalkan

Secara teori, KTP itu keren. Ada NIK, berlaku seumur hidup, dan jadi identitas tunggal seluruh warga negara (UU No. 23 Tahun 2006). Bahkan sekarang sudah e-KTP—dengan chip dan semua jargon “terintegrasi.”

Tapi di praktiknya, KTP ini seperti tulang punggung sistem yang terlalu diperas. Semua layanan, dari yang masuk akal sampai yang absurd, wajib KTP. Mau masuk grup WhatsApp RT kadang ditanyain juga.

Sistem Sudah Canggih, Tapi Pejabatnya Belum

Kita sering dengar: “Data Anda sudah terintegrasi secara nasional.”

Faktanya?

  • Masih banyak warga yang punya dua NIK aktif
  • Masih disuruh bawa fotokopi KTP untuk urusan online
  • Layanan publik seperti sekolah, puskesmas, bahkan BLT masih verifikasi manual

Kenapa ini bisa terjadi? Karena sistem kita canggih, tapi cara pikir birokrasinya masih zaman mesin tik. Digitalisasi dijadikan pajangan proyek, tapi mindset pengelolanya belum digital sama sekali.

Swasta Malah Lebih Kritis

Bank, fintech, startup, bahkan minimarket udah mulai pakai sistem verifikasi online real-time ke Dukcapil.
Tapi… instansi pemerintah sendiri malah tetap minta tanda tangan basah dan fotokopi. Iya, pemerintah bayar API Dukcapil, tapi tetap fotokopi juga. Ironi? Enggak. Sudah jadi tradisi.

Padahal kalau benar-benar sinkron, satu NIK aja cukup. Tapi ini Indonesia: semua harus ada dokumen cadangan, fotokopi, materai, dan stempel—karena katanya “buat jaga-jaga kalau server down.”

Jadi kita pakai sistem Rp 3 triliun tapi masih takut mati lampu.

Fotokopi Itu Budaya Bukan Kebutuhan

Masalahnya bukan di KTP. Masalahnya di budaya administrasi yang sudah terlalu cinta dengan tumpukan kertas. Banyak instansi yang merasa belum lengkap kalau belum mengarsipkan map biru, isi formulir 3 rangkap, dan fotokopi bolak-balik 100 lembar.

Padahal pejabatnya punya smartphone, punya scanner, punya email. Tapi sistemnya tetap: “Silakan ke fotokopian dulu ya, Mas.”

Kita ini negara digitalisasi berbasis warung fotokopi.

Jadi Kapan Bisa Lepas dari KTP?

Jawaban jujurnya: belum dalam waktu dekat.

Selama pejabat masih lebih takut dimarahi atasan daripada berpikir efisien, dan selama sistem digital masih jadi proyek tahunan tanpa perubahan budaya, KTP tetap akan jadi tumpuan segalanya.

Digital ID? Masih jauh. Identitas berbasis biometrik? Baru slogan.
Yang dekat? Tumpukan fotokopi yang makin tinggi.

Penutup: KTP Masih Raja di Negeri yang Takut Berubah

Indonesia punya sistem data nasional, tapi belum punya kepercayaan pada sistem itu sendiri. Itulah kenapa warga masih harus fotokopi KTP berkali-kali untuk urusan yang sama.

Sampai kapan?

Entah. Tapi yang jelas:
Kalau besok kamu mau nikah, lahir, beli SIM card, atau urus kehilangan ayam— Fotocopy KTP tetap syarat utama.

Categories: ,