KabarKita.Net – “Lelo… ledhung…” Kalimat itu tak punya arti harfiah yang jelas. Ia bukan kata, tapi suara. Bukan kalimat, tapi rasa.
Di banyak rumah di pelosok Jawa, lantunan ini biasa terdengar lirih dari mulut seorang ibu yang menimang bayinya. Lelo Ledhung adalah lagu nina bobo ala Jawa. Tapi bukan sembarang lullaby, ini adalah doa, tangisan yang ditahan, dan pelukan batin dalam bentuk paling lembut.
Selama ini Lelo Ledhung sering dianggap lagu rakyat tanpa nama pencipta. Tak banyak yang tahu, tapi ternyata lagu ini lahir dari tangan seorang ayah: Markasan, pemimpin Orkes Keroncong Aneka Warna yang aktif sejak 1960-an. Beliau menciptakan lagu ini sebagai cara menidurkan anak perempuannya, bukan dengan kata-kata keras, tapi dengan gumaman lembut yang kemudian berubah jadi tembang penuh makna.
Lagu ini mulai dikenal lebih luas setelah dinyanyikan oleh Waldjinah, sang Ratu Keroncong asal Solo. Ia membawakan Lelo Ledhung di album Entit yang dirilis pada tahun 1971. Suara khas Waldjinah menyulap lagu ini menjadi tembang lirih yang menembus ruang batin, bukan sekadar lagu, tapi perasaan yang dijahit jadi musik.
Lebih dari Sekadar Pengantar Tidur
Lelo Ledhung tak pernah diajarkan di sekolah. Tak ditayangkan di TV anak-anak. Tak viral di TikTok. Ia diturunkan dari telinga ke telinga, dari ibu ke anak, dalam keheningan malam ketika dunia sudah lelah.
Liriknya sederhana, kadang hanya berupa gumaman:
“Lelo ledhung, lelo ledhung, ojo nangis…”
“Aku tak lungo adoh…”
Artinya kira-kira:
“Tenanglah, jangan menangis. Ibu akan pergi jauh…”
Tapi seperti banyak warisan budaya Jawa lainnya, yang tersurat bukanlah segalanya. Justru kekuatannya ada pada yang tersirat.
Lelo Ledhung terdengar seperti lagu untuk menenangkan bayi. Tapi bagi yang mendengar lebih dalam, ia menyimpan filosofi kehidupan. Ada unsur sendu di sana, tapi juga ada harapan yang besar.
Lewat lantunan pelan itu, sang ibu seakan mengajarkan bahwa:
- Kesedihan adalah bagian dari perjalanan.
- Dunia tak selalu hangat, tapi juga tak selamanya gelap.
- Cinta bisa tetap tumbuh bahkan dalam kepergian.
Banyak tafsir berkembang. Ada yang menganggap lagu ini tentang perpisahan, tentang pagebluk (wabah), bahkan tentang kematian.
Tapi ada pula tafsir yang lebih sunyi: Bahwa ibu dalam lagu ini sedang menitipkan harapan besar pada anaknya, agar kelak bisa hidup bijak, membalas kasih orang tua, dan mengangkat derajat keluarga.
Lelo Ledhung bukan tangisan pamit. Ia adalah doa agar anak tetap kuat meski ditinggal sebentar.
Lullaby yang Kini Tenggelam
Hari ini, Lelo Ledhung nyaris tak terdengar. Di rumah-rumah modern yang terang benderang, di mana bayi lebih akrab dengan white noise dari YouTube, atau lagu-lagu K-Pop kesukaan Ibu, lagu ini pelan-pelan menghilang dari ingatan kolektif.
Padahal, lagu seperti ini bukan cuma tradisi. Ia adalah cara sebuah budaya menyampaikan nilai hidup tanpa harus berteriak, tanpa harus menggurui.
Kita lupa bahwa kita juga punya lullaby. Bukan dari luar negeri, bukan dari TV, tapi dari perempuan-perempuan kuat di rumah, yang menyisipkan doa dalam setiap gumaman pelan di malam-malam sunyi.
Lelo Ledhung bukan sekadar lagu pengantar tidur. Ia adalah surat terbuka dari ibu untuk anaknya, surat yang tidak ditulis, tapi dinyanyikan.
Isinya bukan hanya tentang perpisahan, tapi juga harapan. Harapan agar anak-anak tumbuh bukan hanya pintar, tapi juga welas asih. Agar mereka tak lupa pada akar, dan tahu siapa yang dulu pernah mengayun mereka, dengan suara yang tak keras, tapi menyelamatkan.
Mungkin sekarang saatnya kita bertanya:
Masihkah lullaby seperti ini punya ruang di dunia anak-anak hari ini?
Kalau tak bisa diwariskan secara lisan, setidaknya jangan sampai ia benar-benar hilang.
Karena di dalamnya, terkandung nilai, cinta, dan harapan yang tak bisa ditemukan di playlist mana pun.