Memperkuat Efisiensi Dan Efektivitas Pada Wacana Pilkada Melalui DPRD

Oleh : Fachri Rahmad Aulia (Alumni Pascasarja Ilmu Politik Universitas Andalas)

Wacana penyelenggaraan pemilihan kepala daerah pilkada akan dikembalikan kepada DPRD masing-masing provinsi, kabupaten atau kota menjadi isu yang muncul pasca gelaran pilkada serentak telah selesai dilaksanakan. Isu ini menimbulkan polemik pro dan kontra.

Wacana Pilkada melalui DPRD ini disampaikan oleh Presiden Prabowo Subianto saat berpidato dalam perayaan ulang tahun Partai Golkar di Sentul International Convention Center, Bogor, Jawa Barat, Kamis 12 Desember 2024 dengan alasan  pilkada langsung terlalu banyak menghabiskan anggaran. 

Beberapa pihak ada yang mendukung wacana ini seperti MUI, dan pihak yang menolak berasal dari kalangan akademisi dan mahasiswa. Saya melihat wacana ini penting untuk dipertimbangkan dan dikaji secara mendalam. Salah satu pertimbangannya adalah efisiensi. Pilkada memang membutuhkan anggaran yang besar. Pilkada serentak 2024 membutuhkan anggaran sebesar Rp 37,4 Triliun. Pertanyaannya dengan anggaran yang besar itu, apakah esensi dari penyelenggaraan pilkada sudah tercapai di setiap daerah yang melaksanakan pilkada. 

Beberapa penilaian dalam melihat keberhasilan penyelenggaraan pilkada yaitu tingkat partisipasi masyarakat dan tidak adanya konflik yang merusak persatuan bangsa. Secara akumulatif nasional partisipasi pemilih pada Pilkada 2024 tidak sampai 70 % dari total DPT terdaftar. Bahkan di beberapa daerah ada yang hanya 54 % angka partisipasi pemilihnya. Menyikapi partisipasi yang rendah ini, penulis menilai perlu adanya evaluasi terkait sistem penyelenggaraan pilkada. 

Berbeda dengan wacana pengembalian penyelenggaraan pilkada ke DPRD secara menyeluruh, penulis memberikan saran agar beberapa daerah yang rendah angka partisipasi memilihnya, penyelenggaraan pilkada berikutnya di daerah itu dilakukan dengan mekanisme DPRD. Rekomendasi ini merupakan bentuk dari kegagalan lembaga penyelenggara pemilu, partai politik, para calon dalam membangkitkan animo masyarakat untuk menggunakan hak pilihnya. Daerah berikutnya yang dapat menyelenggarakan pilkada melalui DPRD adalah daerah yang mengalami konflik saat penyelenggaraan pilkada 2024. 

Masih banyak berita yang menampilkan konflik yang terjadi antara masing-masing pendukung para calon kepala daerah. Ini merupakan konsekuensi karena para elit politik di daerah tersebut gagal dalam memberikan pendidikan politik yang bermutu kepada pemilihnya. Berdasarkan perspektif efisiensi rekomendasi ini dapat mengurangi pembiayaan pilkada yang bersumber dari dana alokasi pemerintah pusat dan dana hibah masing-masing pemerintah daerah. 

Nantinya anggaran yang dapat dihemat ini dapat dilakukan refocussing anggaran pada program lain yang membutuhkan seperti program sosial, pemberdayaan ekonomi, infrastruktur dan lainnya. Perlu diketahui di daerah yang angka partisipasinya rendah, banyak surat suara yang terbuang karena tidak digunakan. Tentu kondisi ini bertolak belakang dari biaya dan manfaat sebuah kebijakan. 

Memang rekomendasi ini perlu mendapatkan perhatian dan kajian mendalam dari pemerintah, DPR, dan lembaga penyelenggara pemilu KPU dan Bawaslu. Lalu bagaimana daerah yang ditetapkan melaksanakan pilkada melalui DPRD dapat kembali melaksanakan pilkada secara langsung? Menjawab pertanyaan ini KPU bersama pemerintah daerah dapat melakukan survei dan temu masyarakat untuk mengumpulkan opini masyarakat terkait minat partisipasi masyarakat dalam menggunakan hak pilihnya. Ketika minat itu tinggi menunjukkan angka persentase yang baik, barulah daerah tersebut dapat kembali menyelenggarakan pilkada secara langsung. 

Penekanan juga perlu diberikan kepada partai politik dan calon agar memberikan kampanye politik positif untuk membangun demokrasi yang sehat. Bawaslu juga harus dituntut ketegasan dalam menindak para peserta pilkada yang terbukti melakukan black campaign dan ujaran kebencian yang berpotensi menimbulkan konflik dalam pelaksanaan pilkada. Lalu bagaimana mekanisme penyelenggaraan pilkada melalui DPRD yang sangat rentan dengan potensi politisasi. 

Format pemilihan kepala daerah melalui DPRD memang perlu diubah dengan memfokuskan seleksi berbasis uji kemampuan. Uji kemampuan tersebut meliputi pengetahuan dan keahlian legislasi, advokasi, komunikasi dan kebijakan publik. Keahlian tersebut sangat penting dimiliki oleh seorang kepala daerah yang bertugas mengurus permasalahan publik. Perlu dibentuk tim khusus yang memiliki tugas untuk menseleksi para calon kepala daerah dengan seleksi meritokrasi ini. 

Partai politik atau gabungan partai politik yang memiliki kursi di parlemen daerah dapat mengajukan kandidat calon kepala daerah. Ketentuan ini juga memperhatikan jumlah suara dan kursi yang di peroleh partai pada pemilihan legislatif sebelumnya. Pada proses seleksi harus mengedepankan prinsip transparansi agar publik dapat mengawasi proses seleksi calon kepala daerah. Tujuannya agar mekanisme politisasi dan kolusi tidak tercermin dalam mekanisme seleksi calon kepala daerah berdasarkan uji kemampuan dan kualitas ini. 

Rekomendasi ini penting diterapkan pada daerah yang memang rendah angka partisipasi memilihnya agar anggaran besar yang digunakan untuk pilkada langsung tidak terbuang percuma. Kalau bisa, pemilihan legislatif yang tidak mendapatkan perhatian dari publik juga dilaksanakan berdasarkan seleksi uji kompetensi ini. Tujuannya juga sama yaitu efisiensi dan efektivitas dari penyelenggaraan pemilihan itu sendiri. Silfa anggaran yang diperoleh, nantinya dapat digunakan untuk pembiayaan program lain yang bermanfaat bagi masyarakat seperti program sosial, pemberdayaan, infrastruktur, pendidikan dan program lainnya. 

Pemerintah perlu mengambil langkah serius untuk menerapkan prinsip good governance berupa efisiensi agar setiap kebijakan yang dilaksanakan memiliki manfaat besar sesuai dengan anggaran yang dialokasikan. Permasalahan banyaknya anggaran yang terbuang pada setiap kebijakan harus segera diminimalisir agar kerugian negara tidak mengalami kenaikan. Suatu program atau kegiatan dikatakan efisien apabila mampu menghasilkan output dan outcome tertentu dengan input serendah-rendahnya atau menghasilkan outcome yang tinggi (Mahmudi, 2019). 

Kondisi ini sangat bertolak pada pelaksanaan pilkada pada daerah yang angka partisipasi pemilihnya sangat rendah. Penting sejatinya bagi para pemangku kebijakan mempertimbangkan rekomendasi pemilihan kepala daerah dengan mekanisme uji kompetensi yang pelaksanaanya dapat diterapkan pada daerah yang rendah angka partisipasi pemilihnya. 

Categories: