OMC Berhasil Padamkan Karhutla di Sumbar, Tapi BMKG Ingatkan Puncak Kemarau Akan Datang

Jakarta, Kabarkita.net – Operasi Modifikasi Cuaca (OMC) yang dilakukan oleh Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) dan Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) di Sumatera Barat pada tanggal 25-29 Juli 2025, berhasil memadamkan Kebakaran Hutan dan Lahan (Karhutla) yang tersebar di sejumlah wilayah Sumatera Barat.

Operasi tersebut berhasil membuat hujan buatan yang cukup tinggi. Dimana tim OMC menyebarkan 3 ton garam setiap hari. Dimana dalam satu hari operasi, dilakukan 3 kali penerbangan yang setiap penerbangan membawa 1 ton garam.

Disaat seluruh titik api sudah padam di Sumatera Barat, BMKG malah malah mengeluarkan peringatan kepada seluruh masyarakat dan Pemerintah di Sumatera Barat untuk tetap waspada tingkat tinggi. Pasalnya bulan Agustus adalah puncak kemarau di tahun 2025 ini. Sedangkan OMC hanya bersifat jangka pendek.

Peringatan ini disampaikan langsung oleh kepada BMKG, Dwikorita Karnawati dalam rapat Koordinasi Nasional Penanganan Karhutla yang digelar oleh BNPB secara daring pada Senin (28/7/2025).

“Bahwa sebagian besar wilayah Indonesia, terutama Sumatera dan Kalimantan akan menghadapi puncak kemarau pada Agustus 2025. Diperkirakan Karhutla akan meningkat tajam di bulan ini,” Kata Dwi.

Adapun wilayah yang harus mendapatkan perhatian khusus dalam Karhutla adalah Jambi, Riau, Sumatera Barat, Sumatera Selatan, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah dan Kalimantan Selatan.

Namun, 3 Provinsi masuk dalam kategori perhatian yang lebih. Dikarenakan curah hujan dasarian (10 harian) sangat rendah. Ketiga provinsi tersebut adalah Riau, Jambi dan Kalimantan Selatan.

“Ketiga daerah ini harus menjadi perhatian yang sangat serius. Mengingat pada Agustus 2025 nanti curah hujannya akan sangat rendah,” katanya.

Saat ii dari peta satelit, walaupun OMC berhasil memadamkan sebagian besar Karhutla yang terjadi sejak awal Juli 2025. Namun titik-titik api mulai bermunculan. Kondisi ini menunjukkan bahwa lahan bisa terbakar secara alami. Bahkan tanpa pemantik eksternal.

“Warna Merah kembali muncul. Artinya, efek OMC sudah mulai menurun, dan kondisi cuaca aslinya kembali mendominasi,” jelasnya.

Menteri Kehutanan, Raja Juli Antoni, turut mengapresiasi sinergi BMKG dan BNPB dalam pelaksanaan OMC. Menurutnya, OMC telah menjadi instrumen penting pencegahan karhutla yang berbasis data dan bukan sekadar eksperimen.

“Ini penting ya, kita punya OMC yang semakin baik di bawah arahan Ibu Kepala BMKG untuk menentukan tadi di mana potensi awan yang ada, kapan kemudian OMC dilakukan bersama dengan teman-teman dari BNPB,” ujar Menteri Kehutanan.

Ia menekankan, keberhasilan OMC tidak hanya bergantung pada aspek teknis seperti penyemaian garam, tapi terutama pada ketepatan waktu dan lokasi, yang ditentukan oleh analisis cuaca presisi dari BMKG. Kolaborasi ini memungkinkan tindakan cepat sebelum api meluas, terutama di wilayah-wilayah rawan yang sulit dijangkau melalui jalur darat.

BNPB dalam laporannya menyebutkan, hingga pertengahan tahun ini telah terjadi 278 kejadian karhutla. Di Riau, operasi terpadu yang melibatkan TNI, Polri, dan relawan—dengan dukungan OMC dan helikopter water bombing—berhasil menekan eskalasi, meski situasi belum sepenuhnya aman.

Kepala BNPB, Letjen TNI Suharyanto menekankan pentingnya koordinasi lintas instansi dan sinergi antara pemerintah pusat dan daerah dalam menghadapi kebakaran hutan dan lahan (karhutla). Ia menyatakan bahwa keberhasilan penanganan karhutla bukan semata soal jumlah personel atau peralatan, tapi bagaimana semua pihak bekerja serempak, cepat, dan terorganisir.

“Walaupun sudah ada kebakaran di mana-mana, kalau kita bekerja bersatu padu, saya kira itu bisa segera diatasi. Contohnya seperti di Riau kemarin, semua unsur bergerak serentak. Langkah-langkahnya tidak perlu saya uraikan satu per satu, tapi pendekatan itu akan kita terapkan juga di wilayah lain jika kondisinya serupa,” tegas Suharyanto.

BMKG kembali mengingatkan bahwa musim kemarau diperkirakan akan berlangsung hingga September, dan musim hujan baru akan mulai masuk pada Oktober. Artinya, dua bulan ke depan adalah fase kritis yang membutuhkan koordinasi total lintas lembaga.

“Musim hujan belum datang. OMC bukan jaminan. Kuncinya adalah patroli ketat, deteksi dini, dan pemadaman cepat,” tegas Kepala BMKG.

Sebagai penutup, BMKG mendorong pemanfaatan data iklim dan prediksi cuaca ekstrem secara strategis. Gubernur dan kepala daerah diminta untuk rutin memantau laporan BMKG sebagai dasar dalam pengambilan keputusan—mulai dari pelaksanaan OMC, pengerahan pasukan darat, hingga edukasi masyarakat.

Dalam konteks ini, Kepala BMKG juga menekankan pentingnya kesiapsiagaan di tingkat daerah dan partisipasi aktif masyarakat dalam mengantisipasi risiko karhutla. (*)