Kabarkita.net, Jakarta – Angka kekerasan terhadap perempuan dan anak melonjak tajam dalam dua Minggu terakhir. Tercatat lebih dua ribu perkara dihimpun oleh Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA). Sebuah kondisi yang cukup mencengangkan dan tercatat sebagai periode yang tertinggi dalam perkara kekerasan Perempuan dan Anak di Indonesia.
Jika dirata-rata, setiap hari tercatat 142 kasus kekerasan yang dilaporkan dalam rentang waktu 2 Minggu terakhir.
Data dari Simfoni PPA, sejak Januari-Juli 2025 terdapat 14.385 kasus kekerasan di Indonesia.
Detailnya, korban kekerasan 62,5 persen merupakan anak-anak dan 37,5 persen dewasa.
Kemudian, 80,7 persen korban kekerasan tersebut merupakan perempuan. Sementara, 19,3 persen lainnya laki-laki.
Untuk pelaku, 82,7 persen dewasa dan 17,4 persen anak. Yang mana pelaku ini sebagian besar atau 88,5 persen merupakan laki-laki dan 11,6 persen sisanya perempuan.
“Ini adalah isu urgent yang harus kita tangani secara serius,” ujar Menko Bidang Pemberdayaan Manusia dan Kebudayaan (Menko PMK) Pratikno dalam Rapat Tingkat Menteri (RTM) Gerakan Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan dan Anak di Kantor Kemenko PMK, Jakarta, Kamis (10/7/2025) yang dikutip dari jawapos.
Merespons kondisi ini, pemerintah menilai perlu segera dilakukan penanganan serius. Salah satu yang diwacanakan adalah revisi Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 5 Tahun 2014 tentang Gerakan Nasional Anti Kejahatan Seksual terhadap Anak (GN-AKSA), menjadi Gerakan Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan dan Anak (GN-AKPA).
Perluasan ini dinilai penting karena akan mencakup berbagai bentuk kekerasan. Termasuk kekerasan fisik, psikis, verbal, hingga kekerasan berbasis siber, yang dialami baik oleh anak maupun perempuan.
Selain itu, revisi ini diperlukan untuk menutup celah kebijakan dan menghadirkan perlindungan yang nyata bagi korban.
“Celah-celah dalam pelaksanaan regulasi saat ini harus ditutup. Kita tidak bisa hanya mengandalkan aturan yang sifatnya normatif, tapi harus menghadirkan perlindungan yang nyata dan terasa bagi korban,” paparnya.
Substansi R-Inpres GN-AKPA nantinya memuat dua bagian utama. Yakni instruksi umum bagi kementerian/lembaga yang mencakup sinergi data, keterpaduan penanganan, penguatan kelembagaan dan SDM, pelaporan, serta rehabilitasi. Kedua, instruksi khusus sesuai tugas dan fungsi masing-masing K/L.
Revisi Inpres ini juga diarahkan agar selaras dengan regulasi yang sudah ada. Seperti UU TPKS, UU Perlindungan Anak, UU Pemda, PP TUNAS, dan Stranas PKTA.
Serta dilengkapi dengan Rencana Aksi Nasional (RAN) dan Rencana Aksi Daerah (RAD) agar bisa diintegrasikan ke dalam dokumen perencanaan dan penganggaran daerah.
Dalam kesempatan yang sama, Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) Arifah Fauzi mengamini adanya peningkatan tajam atas angka kekerasan terhadap perempuan dan anak.
Dia menjelaskan, sejak Januari hingga 14 Juni 2025, pelaporan kekerasan mencapai sekitar 11.800 kasus. Betapa kaget dirinya, ketika mengecek pada 7 Juli 2025, pelaporan kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak sudah berada di angka sekitar 13 ribu.
“Artinya dalam waktu 2 minggu lebih, jumlah kasus yang terlaporkan sudah di atas 2.000 kasus,” ujarnya.
Sedihnya lagi, kasus-kasus tersebut didominasi oleh kekerasan asusila. Dan yang menjadi korban kebanyakan adalah perempuan.
Kekerasan ini, lanjut dia, paling banyak terjadi di lingkungan rumah tangga. Sehingga dapat diartikan pelaku kebanyakan merupakan orang-orang sekitar atau orang terdekat.
Pihaknya pun telah melakukan analisis lebih lanjut mengenai penyebab kekerasan ini bisa terjadi.
Ada tiga penyebab utama. Pertama, pola asuh dalam keluarga. Kedua, penggunaan gadget yang tidak bijaksana. Terakhir, faktor keluarga.
“Dari beberapa kekerasan yang dialami atau dilakukan oleh anak-anak, hampir sebagian besar sumbernya, penyebabnya, dari pengaruh medsos atau gadget,” tuturnya.
Melihat hal ini, Arifah mengatakan, butuh bantuan banyak tangan untuk bisa menangani dan mengantisipasi kekerasan tersebut. Pihaknya pun sudah membentuk ruang bersama Indonesia sebagai salah satu langkah penanganan.
Pihaknya menyambut baik rencana revisi Inpres Nomor 5 Tahun 2014. Dengan revisi ini, maka semua pihak akan diingatkan kembali mengenai tugasnya terkait urgensi penanganan kekerasan saat ini. Termasuk langkah-langkah kolaborasi dalam penanganan kasus yang ada. (*)