KabarKita.net – Mungkin tak ada aplikasi yang lebih jujur mencerminkan wajah sebuah bangsa hari ini selain TikTok. Di sinilah semua lapisan masyarakat berkumpul: dari anak pesantren sampai selebgram, dari petani sawit sampai PNS berkedok motivator. Dalam satu guliran layar, kita bisa melihat remaja menari sambil pamer lekuk tubuh, disusul video ustaz menjelaskan fiqih, lalu beralih ke seseorang menangis karena dikasih gift oleh “abang sultan.”
Satu menit kita mengernyitkan dahi, menit berikutnya kita tertawa geli, lalu tiba-tiba emosi karena debat kusir soal Palestina. TikTok bukan cuma aplikasi—ia adalah panggung besar di mana standar moral, etika, dan bahkan akal sehat sedang diuji habis-habisan.
Douyin vs TikTok: Dua Dunia, Satu Akar
TikTok lahir dari rahim ByteDance, perusahaan raksasa asal Tiongkok. Tapi di negeri asalnya, aplikasi ini bernama Douyin—dan kontennya sangat berbeda. Di Douyin, ada pembatasan waktu menonton untuk anak-anak, parental lock, dan algoritma yang mendorong konten edukatif, budaya, inovasi, dan sejarah.
Di Indonesia? TikTok seperti versi ekspor digital yang sudah di-franchise dengan arah berbeda. Algoritmanya bebas dan liar. Yang viral justru video prank, joget sensual, pamer kekayaan, atau debat bodoh soal siapa yang paling “real.” Sementara konten pendidikan, sains, dan logika? Kalah pamor, bahkan kadang dilabeli “tidak menghibur”.
Sebuah ironi besar: negara pencipta TikTok memakainya untuk mendidik, kita malah memeluknya untuk membodohkan diri sendiri.
Platformnya Netral, Kita yang Enggak
Menyalahkan TikTok sepenuhnya itu tidak adil. Algoritma hanya menampilkan apa yang sering kita tonton. Kalau konten bodoh lebih viral daripada konten cerdas, itu bukan salah aplikasi—itu cermin kita.
TikTok hanyalah kaca pembesar dari selera kolektif. Kita yang membuat “abang live minta saweran” jadi panutan. Kita juga yang suka adu argumen tanpa logika di kolom komentar. Kita pula yang menobatkan suara paling nyaring sebagai kebenaran, meski isinya kosong.
Debat Kosong dan Kepedean Kolektif
Kita hidup di zaman ketika orang lebih takut tidak relatable daripada tidak pintar. Semua orang ingin jadi komentator politik, motivator, dan pendakwah sekaligus. Tapi malas baca buku, apalagi mikir serius.
Debat publik di TikTok lebih mirip konser teriak-teriak tanpa lirik. Validasi bukan dari substansi, tapi dari jumlah share dan komentar. Dan semakin gaduh, semakin dianggap penting. Ini bukan diskusi, ini festival suara sumbang.
Antara Bonus Demografi dan Bonus Dopamin
Kita sedang menuju “Indonesia Emas 2045.” Bonus demografi jadi jargon utama. Tapi yang terjadi di TikTok justru sebaliknya: bukan bonus demografi, tapi bonus dopamin.
Anak-anak muda lebih tahu drama rumah tangga selebgram daripada sejarah rumah tangga republik ini. Lebih paham pakai filter TikTok daripada filter informasi. Kita kejar status negara maju, tapi yang viral justru konten mundur. Melihat realita tersebut, jargon “Indonesia Emas 2045” mungkin perlu sedikit dimodifikasi, “Indonesia Emas 2045 Hijriah” mungkin lebih masuk akal.
Sisi Terang TikTok: Kalau Kita Mau Lihat
Tapi di tengah semua itu, TikTok juga membuktikan bahwa internet bisa jadi alat kemajuan.
TikTok telah membuka jalan bagi UMKM lokal untuk menjangkau pasar yang dulu mustahil. Jajanan kaki lima bisa viral sampai dikirim ke luar pulau. Tukang sablon, petani, pengrajin rotan, bahkan penjahit rumahan—semua bisa dapat spotlight nasional dan internasional lewat konten pendek yang kreatif.
Bahkan, banyak budaya lokal yang dulunya nyaris tenggelam, kini mendunia berkat TikTok. Salah satunya Pacu Jalur, lomba perahu tradisional dari Riau, yang viral dan menarik perhatian global setelah diunggah kreator lokal. Dari situ, orang mulai mencari tahu maknanya, sejarahnya, bahkan datang langsung ke tempat aslinya.
TikTok juga jadi ladang ekspresi positif bagi anak-anak daerah yang dulu tak punya panggung. Mereka bisa tampilkan keahlian unik, budaya asli, atau bahkan sekadar membagi sudut pandang hidup dari desa terpencil—dan ditonton jutaan orang.
Solusi? Bukan Sensor. Tapi Literasi.
Sensor bukan solusi. Memblokir TikTok hanya menyelesaikan gejala, bukan akar. Kita harus ajarkan literasi digital—bukan cuma cara pakai aplikasi, tapi cara mengendalikan diri di dalamnya.
Anak muda harus tahu bahwa tidak semua yang viral itu benar. Tidak semua yang lantang itu pintar. Pendidikan digital harus jadi kurikulum wajib: untuk menyaring informasi, melatih empati, dan menumbuhkan etika di ruang digital.
Wake Up, or Keep Scrolling
TikTok hanyalah alat. Ia bisa jadi sekolah informal, atau bisa jadi kuburan kolektif logika kita. Di titik ini, ia sedang merekam bangsa yang kelelahan berpikir tapi terlalu semangat bicara. Bangsa yang lebih suka joget daripada baca buku. Tapi semua itu bisa berubah, kalau kita mau menahan jempol, menata isi kepala, dan ngerem dikit sebelum ngegas opini.
Kalau tidak? Maka jangan kaget, 2045 nanti kita masih juga joget… di atas reruntuhan peradaban.